Tungku Sebuah perkara Antara Weta Dalam Merebut Anak Molasnya Nara
Ilustrasi rasa |
Sapaan itu masih terngiang. Ketika nada sendu di penghujung
senja akhir tahun meliputiku dalam kebingungan. Aku tak tau entah apa maksud
dari penyampaiaan itu. Tapi yang ku mengerti adalah perihal apa yang disampaikannya
secara lurus. Jujur aku betul-betul tak paham akan sebuah perumpamaan. Dan ini
adalah suatu penyesalan ketika hal yang di maksud terjadi begitu saja tanpa
sepengetahuanku. Tanpa sepengetahuan? Iya seperti itulah. Karena aku tak paham
tentang isyrat akan hal lainnya yang dimaksud. Meski dia pernah menceritakan
tentang itu. Tapi dia tidak secara langsung menyampaikan. Hal itulah yang
membuat aku bingung. Dan hingga kini akupun menyesal.
Awal cerita ketika senja ingin menjumpai malam. Saat itu
aku sedang berda di tengah kerumunan massa.
Tepat hari itu merupakan hari akhir tahun. Maklum musim itu adalah musim
perjumpaan bagi siap saja yang selama itu terpisah dan dipenuhi dengan
kesibukkannya tersendiri. Maka moment akhir tahun adalah moment perjumpaan bagi
mereka.
Tepat di tengah itu semua. Hanphone yang masih tersimpan
di saku celana bagian depan. Tiba-tiba berdering keras, maklum saat itu saya
tidak mengaturnya untuk menjadi silent. Eh, malah hal itu yang membuat aku
minggat sebentar dari tengah kerumunan itu. Saya pun mencoba untuk sedikit
menghindar dari keramaian itu untuk melihat “siapa sekali yang sedang menelponku atau mungkin orang yang mau mengucapkan selamat kali ya?” ungkapku dalam
hati. Aduh ternyata Tanta Mariana. Perlahan pun saya mencoba untuk
menjawabnya, “hallo Tanta selamat sore. Apa kabar? Selamat natal dan selamat menyambut tahun
baru" sapaku dalam hangat. Jujur ini merupakan pertama kali Tanta Mariana
menelfonku. Entah apa maksud dan tujuannya aku tak tau. Atau mungkin hanya
mengucapkan selamat saja. Ah, lanjutin saja. Nanti juga akan di sampaikan mengenai
maksud niatnya menelfonku.Tanta Marlina adalah seorang janda yang berusia 40-an
tahun. Masih muda sih. Yang belum lama dari itu suaminya meninggalkan. Hingga kini dia hidup sendiri menjadi seorang single
parent dalam menanggung kehidupan keluarga kecilnya. Dia memiliki lima orang
anak. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Dua dari lima anaknya sudah hidup
berkeluarga. Satu laki-laki dan juga satu perempuan. Sementara ketiga lainnya
masih remaja dan terlihat sudah tumbuh beranjak dewasa. Mungkin tak lama lagi
mereka juga akan ada yang datang meminang.
Singkat pengantar cerita di hari itu. Mungkin ada sesuatu
yang kurang beres atau bagaimana yang di alami oleh Tanta Mariana kala itu dalam
keluarganya. Ternyata benar, Tanta Mariana dikunjungi oleh seorang lelaki
tampan yang hadir dengan kedua orang tuanya. Entah apa tujuannya dia sendiri
tidak tau. Meski latar belakang hubungan keluarga memang masih sangat dekat.
Tapi kok hadirnya secara bersamaan begitu. Seokar ayam jantan yang di bawanya
membuat aku makin bingung. Atau mungkin memang karena adat dan kebiasan kita.
Jika mengunjungi anak rona (sang
pemberi istri atau keluarga perempuan) dalam istilah hubungan kekerabatan di
Manggarai. Wajib untuk membawa manuk
(atau ayam dalam bahasa setempat)
Dalam istilah perkawinan Manggarai ada yang dinamakan
dengan kawing tungku. Kawing tungku
merupakan perkawinan antara anak laki-laki dari saudari kandung atau sepupu
dengan anak perempuan dari saudara kandung atau bisa juga anak saudara sepupu.
Begitulah hubungan suaminya tanta Mariana dengan Ibunya Adrian
Cerita berlanjut yang ternyata Adrian datang mempunyai
tujuan istemewa bagi seorang gadis yang belum menikah tentunya. Orang tua
Adrian tentu ingin menjodohkan anaknya dengan anak saudaranya. Namun belum
tentu bagi Tanta Mariana yang hidup seorang diri untuk mengijinkan begitu saja
keinginan orang tuanya Adrian untuk menikahi anaknya. Walaupun kedatangan
Adrian bersama orang tuannya bukan secara langsung mengatakan untuk adakan
pernikahan. Tapi mereka datang meminang atau we’e dalam istilah Manggarai sebelum waktunya pihak perempuan
bersedia. Singkat cerita bahwa anaknya Tanta Mariana masih berusia belasan dan
sedang duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA). Sehingga kadang
itu menjadi alasan baginya untuk tidak menerima. Sementara Adrian sudah berusia
matang untuk menikah.. Adrian pun makin gelisah. Gelisah cintanya yang tak
menentu. Ah, mungkin Tuhan tak merestui.
Namun ternyata alasan hati berkata lain. Itu mulut yang
kadang pandai bercakap suka memutar balikkan keinginan. Ternyata Tanta Mariana
mempunyai laki-laki yang diidamkannya untuk menikahi anaknya. Iya harapannya
seperti itu. Sejak kecil memang mereka selalu dekat bahkan bapaknya selalu
mengolokkannya dengan anak gadisnya yang sekarang sedang datang dipinang oleh
Adrian. Namun aku tak sudi aku tetap mengharapkan lelaki itu. Kini dia sedang
di perantauan mengadu nasib untuk menjadi manusia yang di harapkan oleh keluarga
dan pasangan hidupnya nanti.
Ini adalah perkara yang sering terjadi dalam permintaan tungku. Saling mengharapkan pada anak de weta (anaknya saudari perempuan) yang lain.
Entah siapa dia. Dia adalah orang yang memiliki hubungan
yang sama seperti Adrian. Tapi kenapa engkau tak mengiyakan saja akan kehadiran
Adrian kalau memang seperti itu? tidak! Aku tak mau.
Tanta Mariana pun menanyakan lebih lanjut kepadaku.
“Bagaimana menurut, Nana?” saya pun
makin bingung, bagaimana saya harus menjawabnya. Apakah saya harus mendorong
mereka untuk menerima saja kedatang Adrian. Tentu tidak. Secara tak langsung nada
pembicaraanku seakan tergantung pada mereka. Karena jujur saya sendiri tak
terlalu paham akan harapan seorang yang tak pernah terungkap. Sudah ceritaku
dengan Tanta Mariana di hari senja itu berakhir di situ.
Hingga keesokan harinya Ibu dan Bapakku menelfonku dari pulau yang sama.
Menanyakan kabar di awal tahun. Di alam percakapan kami. Ibu juga sempat
menyentil soal itu juga. Ternyata mereka juga sempat di kabari oleh Tanta
Mariana soal kehadiran Adrian. “Apa maksudnya?” Tanyaku dalam hati. Lalu saya
pun menyambung cerita itu. “oh, iya ibu kemarin juga Tanta Mariana menelfon ku.
Cerita soal itu juga.” Ayah yang berada di samping Ibu pun secara bersamaan
bersahutan. “Kalau begitu Nana (sebutan untuk laki-laki Manggarai) rupanya
mereka sedang mengharapkanmu dan perlu mendapat suatu pertimbangan darimu.” Saya pun diam tercengang seakan tak
mempercayai hal itu. “Ah, saya. Berarti saya yang menjadi lelaki idaman keluarga
Tanta Mariana untuk menikahi anaknya.” Pungkasku dalam hati.
Ini tentu menjadi lampu kuning bagi saya. Untuk mampu dan
terus mengasah rasa. Berhati-hati dan bersiap siaga. Sebab ada harapan yang ditujukan
kepada kita yang tidak kita ketahui. Namun secara serentak itu digelontorkan
kapada kita.
Bagi saya tentu belum siap. Menyadari pikiran yang belum
begitu matang. Membuat saya mengundurkan diri dari harapan itu. Kalau memang
betul bahwa saya adalah jodoh harapanya bersama keluarganya. Lepaskan dirinya
untuk tinggal sekolah. Biarkan saya dengannya berjuang bersama memahami tentang
maksud dari sebuah pernikahan.
.
Komentar
Posting Komentar