Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Kata Yang Bakar Menyala

Gambar
Menyala terang Mematahkan segala semangat aksara Hangus hingga menjadi debu Hancur lebur badannya Tanda matinya sebuah peradaban Sungguh dan itu terlalu kejam Kebodohan yang tak pernah berpikir Kapan mengertinya? Ini dunia butuh konsep untuk hidup Sedang di hadapan tungku Engkau masih dengan bahagia mempertonton kebodohan. Terang kan wajahmu Dengan kata yang bakar lalu menyala Sorot cahayanya terangi wajahmu Bagaimana dengan otakmu? Masih sehat kan Sejuta kata ingin kembali  Merindukan ingatanmu  Yang ternyata sudah mati  di hadapan tungku

Sobekan Kertas di Angin Malam

Gambar
Dinding itu terlihat kusam Lapisannya telah tersobek beberapanya Sobekan itupun telah menghilang Demikian pernik yang tertempel pun pergi Sementara waktu  sudah menunjukan pukul malam Tidur belum mulai Apalagi waktu menuju pagi Waktunya masih lama Namun lipatan kamar terlihat berantakan Ada dinding yang roboh Kata-katanya terputus Makna tak lagi dapat ditarik Kemanakah dia pergi Mungkin bersama angin malam Atau penerang tungku di dapur Ini goresan syair Atas sobekan kertas di angin malam itu Hancur Lebur Yang tak lagi indah sisinya

Puan Aku Ingin Mengajakmu Untuk Berkenalan Dengan Keluarga Besar Malam

Gambar
Kepada Puan Malam ini kembali hadir Sementara engkau tak lagi di sisi Bagaimana saya menjawabnya kepada malam, Puan? Angin malam terus berlalu Menengok engkau hadir Tapi nyatanya lagi, malam ini engkau tak ada! Puan sungguh begitu ego untuk hadir Puan masih ingin sendiri pada setiap sudut ruang. Tuan pun demikian jadinya. Tuanpun malu pada malam yang mengejek Bersama angin lalu yang hadir Dirinya membawa bintang dan rembulan Mereka ingin mengenalimu Hadirlah Puan mereka sejak lama ingin mengenalmu Kapan hadir Puan? Tuan juga rindu padamu Rindu senyumu Juga pelukanmu semalam lalu yang masih membekas Hadirlah Puan, jagat malam   ingin mengenalmu Aku juga ingin mengajakmu untuk berkenalan Dengan keluarga besar langit malam foto pribadi Gordi  Jenaru

Pilihan Ibu Membuat Peradabanku Mundur Seratus Derajat Kebeberapa Abad Lalu.

Gambar
Pertengkaran di meja itu telah usai. Setelah ibu menetapkan sebuah keputusan. Bahwa kamu harus mengikuti  jalanku. Demikian hari siang yang menghampiri senja itu. Tak ada yang lain yang berkotek. Tetangga rumah semua pada diam ketika perkara itu sedang berlangsung. Tak ada yang berani mengintip sebab takut menjadi saksi atas perkara atas pilihan itu. Hanya tacu, komfor yang masih menyala terang serta perabot dapur lainnya menjadi saksi. Mereka pun ikut diam dan hanya berani berbunyi ketika mereka dijadikan sebagai alat pelempiasan segala emosi. Trump trakkkk, meja itu berbunyi dalam sebuah pukulan emosi. Sementara yang lain berdiri gegas. “Kita semua punya pilihan untuk hidup. Pilihanku adalah hidupku dan yang melakoni semua itu adalah saya sendiri,” teriak seorang remaja yang sedang duduk di sudut meja. Pilihan anak tersebut tentu bertolak dengan pilihan ibu. “sementara Ibu dengan lantang menyatakan dirimu harus ikut pilihanku. Itu bukan main-main,” sambil menunjuk mata remaja it

Mati dan itu terjadi lagi

Ada yang sementara diam Ada yang sementara tertawa kekeh Sementara yang lain saling memeluk rindu Gelap, sunyi betul-betul terasa Sungguh sebuah tamparan yang luar biasa Memaksa angin menepuk dada Membekukan segala denyut jantung Mati, mati dan itu terjadi lagi Sementara di sudut ruang Ritme puisi sedang memaksa berlantun indah Jangan memaksa Jangan tertawa Santai saja Sepertinya syair sedang berduka Mari sama-sama memeluk Untuk sadar dan kita akan pulang bersama Setelah semua selesai

Ranjangku Sebagai Saksi Pelempiasan Nafsu Mimpiku.

Gambar
Di setiap mengalirnya pikiranku.  Aku  dengan telanjang ingin menanggalkan segala hasratku Namun itu semua aku tak berani.  Dengan secara terpaksa harus mengurung niat di alam lembah kesunyian dari hati.  Pada peristiwa malam ini.  Aku ingin kembali berkisah tentang rasaku  untuk mencapai puncak tertinggi dari hasratku.  Peristiwa bahasa senja lalu.  Membuat saya jatuh dari ranjangku.  Sorakan bahagia sempat tersampai dalam ekspresiku.  Namun dengan sekejap hal itu berakhir.  Aku berpikir puncak dari segala rangsangan itu.  Ketika semua kembali keluar dari berbagi urat  yang merentang kesegala saraf. dan ketika itu mulutku bersorak dan bulu kudukku merinding. ranjang itu hanya terkekeh melihat nasib mimpiku. dirinya sebagai saksi bisu atas tingkahku Kini saya betul-betul mati harapan mencapai segala hasrat kini pupus di tengah pertengkaran rasa masyarakat dunia. waktuku untuk mencumbuimu tak lagi bisa kuraih. Nafsuku untuk mencapai puncak

Puisi : Saya Bukan Tuan

Gambar
Saya bukan siapa-siapa Bukan tuan raja Bukan juga pengusaha Yang memiliki karyawan yang banyak Bukan juga presiden ataupun legislator Atau siapun lagi yang bertingkah bagai tuan Mengapa engkau terus menyuguhiku Nasi dengan segal minumannya Uang dan juga segala hal materil lainnya Saya adalah anakmu Dan kamu adalah raja hidupku yang harus kusembah Ayah yang harus selalu kusujudi dalam doaku 

Tungku Sebuah perkara Antara Weta Dalam Merebut Anak Molasnya Nara

Gambar
Ilustrasi rasa             Sapaan itu masih terngiang. Ketika nada sendu di penghujung senja akhir tahun meliputiku dalam kebingungan. Aku tak tau entah apa maksud dari penyampaiaan itu. Tapi yang ku mengerti adalah perihal apa yang disampaikannya secara lurus. Jujur aku betul-betul tak paham akan sebuah perumpamaan. Dan ini adalah suatu penyesalan ketika hal yang di maksud terjadi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Tanpa sepengetahuan? Iya seperti itulah. Karena aku tak paham tentang isyrat akan hal lainnya yang dimaksud. Meski dia pernah menceritakan tentang itu. Tapi dia tidak secara langsung menyampaikan. Hal itulah yang membuat aku bingung. Dan hingga kini akupun menyesal.             Awal cerita ketika senja ingin menjumpai malam. Saat itu aku sedang berda di tengah kerumunan massa.  Tepat hari itu merupakan hari akhir tahun. Maklum musim itu adalah musim perjumpaan bagi siap saja yang selama itu terpisah dan dipenuhi dengan kesibukkannya tersendiri. Maka moment akhir